Dimensi Sosial dalam Haji dan Kurban

Oleh: Prof. Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc, M.Si

Rektor IAIN Kudus, Wakil Ketua PW GP ANSOR Jateng, Katua PC ANSOR Demak, Wakil Ketua PCNU Demak, Ketua II MUI Demak, dan Ketua Komite MA Yanbu’ul Qur’an Kudus

Semarak Hari Raya Idul Adha dengan gema takbir sebagai ungkapan rasa syukur atas Kemahabesaran Allah SWT; di mana umat Islam menunaikan shalat ‘Id dan menyembelih hewan kurban. Sementara, di tanah suci, Makkah al-Mukarromah, jutaan umat Islam yang datang dari seluruh penjuru dunia menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Seluruh jama’ah haji mengumandangkan kalimat talbiyah, labbaik Allahumma labbaik (Kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah). Kalimat yang sarat dengan makna pengabdian, penyerahan, kepasrahan, dan ketaatan kepada Allah SWT.

 Penyerahan diri kepada Allah ini diwujudkan dengan melepaskan semua atribut, jabatan, kebesaran, dan ego sosial yang dimiliki tertuang di dalam pesan ibadah haji. Kepasrahan inilah yang dicontohkan Nabi Ibrahim, istrinya, Siti Hajar dan putra tercinta, Ismail dan sekarang ini diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW. Karena itu, rangkaian Idul Adha dari pelaksanaan shalat ‘Id, haji dan penyembelihan hewan kurban yang dilakukan umat Islam di seluruh dunia dimaksudkan untuk mengenang peristiwa-peristiwa yang pernah dialami Nabi Ibrahim dan keluarganya sekitar 3600 tahun yang lalu. Implementasi sejarah yang panjang dan mengapresiasikan penyerahan diri kepada Allah ini, pada gilirannya diharapkan dapat berimplikasi pada tumbuhnya solidaritas sosial.

Idul Adha dan Solidaritas Universal

Rangkaian Hari Raya Idul Adha seperti ibadah haji dan kurban diwarnai dengan banyak aktivitas. Memakai pakaian ihram adalah simbol kesucian dan kesetaraan umat manusia di hadapan Allah. Ibadah sa’i; adalah untuk memperingati usaha keras Siti Hajar yang berlari antara Shafa dan Marwah guna mendapatkan air demi anaknya, Ismail yang kehausan. Melempar jumrah adalah simbol perjuangan Nabi Ibrahim dan istrinya Siti Hajar ketika mereka berusaha melawan godaan syetan. Wuquf di Arafah adalah simbol penyatuan kembali nenek moyang manusia dan keturunannya di bawah naungan kasih sayang Allah SWT. Sedangkan penyembelihan hewan kurban adalah simbol pengorbanan demi solidaritas kemanusiaan sekaligus untuk memperingati dan mengikuti kesabaran-keihlasan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya tercinta, Ismail.

Sebagaimana yang diungkapkan Seyyed Hossein Nasr (1991), bahwa setiap rangkaian ibadah haji mempunyai aspek eksternal dan internal (batin), yakni merasakan persamaan (kesetaraan) secara total dengan seluruh jamaah di hadapan Allah sebagaimana yang akan terjadi pada Hari Pembalasan dan menghilangkan semua kebanggaan serta perbedaan sosial berdasarkan faktor-faktor eksternal. Sehingga ibadah haji menjadi titik masuk (entry point) bagi kesadaran egalitarianisme dan kesadaran sosial-kemanusiaan yang diwujudkan dalam penyembelihan hewan kurban.

Dengan demikian, Idul Adha memiliki dimensi ganda; sebagai pengukuhan kepasrahan, ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah, dan sebagai perekat solidaritas sosial-kemanusiaan. Dimensi pertama dan kedua semuanya terungkap dalam ritual haji dan penyembelihan hewan kurban. Di sinilah, pelaksanaan ibadah haji yang dibarengi dengan penyembelihan hewan kurban menjadi ritus agama yang ditujukan untuk memperdalam rasa solidaritas antar sesama umat manusia, terutama kepada kaum mustadh’afin (kaum lemah dan tertindas). Karena di dalam perintah kurban, terdapat makna “taqarrub ila Allah”, mendekatkan diri kepada Allah dan “taqarrub ila al-nas”, mendekatkan diri kepada sesama manusia.

Dalam konteks inilah, ibadah haji dan kurban adalah jihad bagi umat Islam untuk kembali ke pusat eksistensialnya, Allah, dan karena itu menemukan kembali makna kemanusiaannya yang universal. Dengan kemanusiaan universal, manusia adalah bersaudara, penuh kasih sayang, dan kerelaan berkorban serta sejajar di hadapan Allah. Inilah hakekat sejati Idul Adha sebagai ritus keagamaan yang paling otentik dan genuine di dalam kehidupan umat beragama. Makna sejati Hari Raya Idul Adha yang diimplementasikan dalam rangkaian ibadah haji dan penyembelihan hewan korban segera kita nantikan sebagai panggilan suci keagamaan.

Paradigma Sosial dalam Teks Kurban

Teks, menurut Muhammad ‘Abied Al-Jâbirî merupakan sumber peradaban yang berfungsi sebagai penuntun menuju peradaban baru (at-tasykîl). Agar teks bisa membentuk peradaban baru, perlu interpretasi yang bisa membongkar dikotomi antara teks dengan realitas sosial. Dalam memahami makna sebuah teks, ada postulat-postulat yang perlu diperhatikan, yaitu otonomi teks, sifat kebahasaan dan interpretasi. Otonomi teks terdiri dari: intensi atau maksud penulisan, situasi kultural dan kondisi sosial terbentuknya teks, serta kepada siapa teks itu ditujukan. Otonomi teks ini menyebabkan penulisan kehendak tertentu memiliki bentuk internal dan aktual. Agar teks bisa tetap up to date dan terhayati, maka ia harus membuka diri untuk ditransformasikan pada makna internal dan orisinilnya ke dalam interpretasi yang kondusif dengan perkembangan zaman. Artinya teks dibaca secara semiotika dan hermeneutika, dipahami dengan meleburkan segala pandangan dan membawanya kepada konteks hidup ketika kita sedang membaca, bukan konteks hidup masa lalu.

 Memahami teks harus disertai dengan analisis historis-sosiologis ketika terbentuknya teks tersebut. Sehingga, meminjam keterangan Jacques Derrida, akan ditemukan titik cahaya dari teks itu dan kemudian didapati Subtilitas Intellegendi (ketetapan pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (ketetapan penjabaran). Teks kita pahami sesuai dengan konteksnya dan dunianya. Perintah Allah tentang kurban, “Sesungguhnya telah kami tebarkan nikmat yang banyak kepadamu. Maka, dirikanlah shalat dan berkurbanlah (QS. Al-Kautsar {108}: 1-2) mempunyai makna transformatif manakala dibaca dengan mengambil referensi setting sosial dan berbagai kategori konteks hidup.

Perintah berkurban, selain memperkukuh kesalehan individu (penyerahan diri kepada Allah), juga menekankan kesalehan sosial. Ritus ini oleh Musthafa Siba’i merupakan pengulangan perasaan dan sikap yang berguna untuk memantapkan solidaritas sosial. Kurban menjadi paradigma sosial untuk mengentaskan kaum miskin dan membebaskan kaum tertindas. Maka, spirit kurban menjadi penting di dalam kehidupan umat manusia yang sedang dilanda penderitaan, penindasan, dan ketidakadilan ekonomi. Perasaan senasib sebagai sesama umat manusia menjadi kunci untuk memahami perintah kurban.

Dalam konteks bencana nasional; gempa, banjir dan badai tsunami, kita memahami bahwa semangat berkurban di Hari Raya Idul Adha sebagai ibadah sosial, menemukan titik relevansinya. Ternyata, kurban jauh memiliki urgensi makna yang bisa menjadikan rujukan bagi terwujudnya obsesi-obsesi solidaritas sosial tersebut. Kebersamaan, persaudaraan, saling menolong dan kesetiakawanan sosial adalah ekspresi dari pengorbanan yang sesungguhnya terhadap saudara-saudara kita yang tengah dilanda bencana, serta kaum miskin, kaum lemah dan kaum mustadh’afin yang tersebar di belahan bumi Nusantara. Di sinilah letak Islam sebagai liberating force, kekuatan pembebas umat manusia yang dalam bahasa Roger Garaudy, berarti melakukan peranan positif dan progesif yang membuatnya menjadi faktor revolusioner dan pembebasan. Hal ini tampak dari rangkaian pelaksanaan ibadah haji dan kurban yang sarat dengan simbol kesucian, kepasrahan, kesetaraan, persaudaraan, dan solidaritas sosial. Dengan kekuatan ini memang Islam menjadi agama yang membebaskan.

Karena itu, ibadah ritual tanpa disertai dimensi sosial akan hampa dan tidak mempunyai makna apa-apa. Pemaknaan kurban terletak pada unsur-unsur utama kemanusiaan dan berbagai keprihatinan keterbelakangan, ketertindasan dan membebaskan umat manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis. Sehingga nilai kurban betul-betul mampu memantulkan cinta kasih antar sesama umat manusia, bukan hanya sekedar ibadah rutinitas yang hampa dari nilai-nilai sosial.

 

 

 

 

 

Share this Post1: