Prodi

Ramadan dan Spirit Kebangkitan Nasional

Oleh Aat Hidayat, M.Pd.I.

 

Ramadan tahun 1441 Hijriah ini sangat istimewa. Selain bertepatan dengan momentum bersejarah Hari Kebangkitan Nasional, Ramadan kali ini juga menjadi ajang bagi kita untuk melakukan re-charge spiritualitas, intelektualitas, dan progresivitas di tengah masa karantina menghadapi pandemi Covid-19. Jika berhasil melewati pendidikan spiritual Ramadan dan tapa batin menghadapi Covid-19 dalam konteks Kebangkitan Nasional, diharapkan kita tidak hanya akan menjadi muttaqin yang lahir kembali dalam keadaan fitrah, tetapi juga siap menjadi penggerak yang membawa bangsa kita kepada kebangkitan di era baru.

Secara etimologis, Ramadan memiliki beberapa makna. Pertama, Ibnu Katsir, ulama tafsir penulis kitab Tafsir Ibn Katsir, menjelaskan bahwa Ramadan berasal dari kata ar-ramdla yang berarti panas, karena kondisi yang sangat panas membakar. Kedua, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, ulama peletak dasar ilmu ‘Arudl, menyatakan bahwa Ramadan berasal dari kata ar-ramidl yang merujuk pada makna awan atau hujan yang datang pada musim panas yang melunturkan panas dan terik matahari. Ketiga, al-Ashma’i, ulama ahli bahasa dan ahli syair Arab, mengatakan bahwa Ramadan berasal dari kata ar-ramdl yang menyiratkan makna panasnya batu terkena terik matahari. Keempat, al-Azhari, ulama ahli bahasa penulis kitab Tahdzib al-Lughah, mengutarakan bahwa Ramadan diambil dari ungkapan orang Arab yang mengarah pada makna mengasah tombak hingga tajam.

Dari beberapa makna etimologis Ramadan tersebut, ada benang merah ‘ibrah yang bisa kita ambil, yakni bulan Ramadan saat kita melaksanakan ibadah puasa merupakan momentum yang baik untuk mengasah spiritualitas, intelektualitas, dan progresivitas kita. Hasil dari tempaan tersebut adalah bangkitnya dan terbakarnya semangat kita untuk bergerak, berjuang, dan menyongsong kehidupan yang lebih baik. Makna ini paling tidak memiliki cantelan historis bahwa pada saat memasuki bulan Ramadan, masyarakat Arab terbiasa mengasah senjata-senjata mereka yang dipersiapkan untuk berperang di bulan Syawal. Bahkan, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa makna Ramadan mengacu pada dua hal: “mengasah” dan “membakar”. Bulan Ramadan adalah kawah candradimuka bagi umat Islam untuk “mengasah” jiwa sehingga lebih tajam dan lebih berenergi dalam menjalani kehidupan ke depan. Di samping itu, bulan Ramadan juga sarana untuk “membakar” spirit sehingga umat Islam lebih semangat dalam membangun peradaban.

Sejarah membuktikan bahwa hakikat dan spirit Ramadan telah memberikan energi hidup yang gilang-gemilang kepada umat Islam. Kemenangan Rasulullah saw. dalam Perang Badar (2 H/624 M), keberhasilan Rasulullah saw. menguasai Kota Mekah pada perstiwa Fathu Makkah (8 H/630 M), kesuksesan pasukan Muslim menaklukkan Andalusia di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad (92 H/711 M), dan kemenangan pasukan Muslim dalam Perang Salib yang dipimpin Shalahuddin al-Ayubi (584 H/1188 H) terjadi pada bulan Ramadan. Bahkan, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada bulan Ramadan (9 Ramadan 1364 H/17 Agustus 1945 M).   

Dalam momentum memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-112 ini (20 Mei 1908–20 Mei 2020), spirit Ramadan dalam “mengasah” jiwa dan skill serta dalam “membakar” semangat harus lebih dikontekstualisasikan. Sebab, puasa di bulan Ramadan merupakan wahana untuk menempa jiwa dan sekaligus raga sehingga orang yang berhasil menjalani ibadah puasa akan kembali ke fitrah, kesucian, sebaimana bayi baru lahir. Makna fitrah ini mencakup fitrah dalam beragama, fitrah sebagai makhluk bermartabat tinggi, dan fitrah sebagai makhluk sosial. Dengan spirit Ramadan dan momentum Kebangkitan Bangsa ini diharapkan akan lahir jiwa-jiwa manusia Indonesia yang lebih tulus, berintegritas, dan progresif serta siap bekerja keras menyongsong Kebangkitan Nasional Indonesia Emas 2045.

Share this Post: