Prodi

Budaya Populer Dan Identitas Nasional

Budaya Populer Dan Identitas Nasional

Primi Rohimi*

 

Akhir-akhir ini khalayak Indonesia mendapatkan gempuran tayangan asing di media televisi. Sebetulnya masuknya tayangan asing di televisi Indonesia yang ditonton oleh penonton dalam negeri, sudah terjadi sejak akhir tahun 1980an. Saat itu satu-satunya stasiun televisi di Indonesia menayangkan serial Oshin, Little House on the Prairie, Dynasty, Isaura, dan masih banyak judul lainnya. Seiring kemunculan TV swasta, tayangan asing dari China, India, dan telenovela dari Amerika Latin semakin marak ditonton oleh rakyat Indonesia. Tayangan asing menjadi budaya populer di televisi sebagai akibat dari modernisme dan globalisasi.

 

Budaya Populer Berpotensi Mengikis Identitas Nasional

 

Saat ini hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar khalayak muda Indonesia lebih menyukai drama Korea dan India dari pada sinetron Indonesia. Alasan dan motif mereka karena cerita serial asing lebih menarik, aktor yang tampan, dan cantik, dan promosi stasiun TV terhadap serial asing yang menarik pula. ANTV misalnya, rutin mendatangkan aktor dan aktris Bollywood dan menjadikan mereka pengisi beberapa acara.

Aktor dan aktris asing tersebut membawa muatan asing yang berpotensi mengikis identitas nasional. Mereka memang tampil dengan bahasa Indonesia agar mudah dipahami penonton yang tidak bisa berbahasa India. Namun bahasa Indonesia yang mereka sampaikan tentu saja bukan bahasa baku yang menjadi spirit Sumpah Pemuda. Selain itu, aktor dan aktris asing pasti membawa muatan asing yang nampak dari cara berpakaian, model rambut, dan keseharian mereka yang terekspos media. Muatan-muatan asing ini diikuti oleh penggemar mereka di Indonesia dan menjadikan khalayak dalam negeri kurang mengapresiasi budaya sendiri.

Tayangan dalam negeri tentu mengekspos budaya lokal. Sinetron Indonesia dengan muatan lokal saat ini misalnya Tukang Ojek Pengkolan yang menampilkan budaya Betawi, Dunia Terbalik yang merepresentasikan budaya Sunda, dan lainnya. Belum lagi stasiun-stasiun TV daerah yang pasti memproduksi program acara yang menampilkan budaya daerah masing-masing.

Tayangan televisi sebagai bentuk budaya populer yang berpotensi mengikis identitas nasional juga dapat dilihat dari program acara pencarian bakat yang diadopsi dari luar negeri. Lagu yang lolos dinyanyikan hampir dapat dipastikan lagu berbahasa asing. Gaya yang ditampilkan hampir dapat dipastikan gaya K-Pop maupun kebarat-baratan. Orientasi go international nampaknya tidak memberikan ruang pada identitas nasional di Indonesia.

Ini tentunya suatu ironi karena di Malaysia, Sanjeda John dengan bangganya mengenakan kuda lumping sebagai bagian dari busananya dalam ajang Miss Grand International. Jauh sebelum itu, Miss Netherland memakai kebaya Indonesia dengan desain yang sopan tanpa mengekspos sensualitas di ajang Miss Universe tahun 2005. Artinya, identitas nasional tidak seharusnya ditiadakan dalam konteks internasional.

 

Budaya Populer Idealnya Menguatkan Identitas Nasional

 

Salah satu identitas nasional adalah kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah bersifat lokal, turun temurun, dan kaku. Maka perlu adanya apresiasi dan revitalisasi sebagai adaptasi atas modernisasi dan globalisasi. Setiap warga negara seharusnya berusaha menginternalisasi identitas nasional ke dalam diri masing-masing (Mc Luhan dalam Katz, 2011: 7). Usaha semacam ini membutuhkan power negara dan supporting system yang berproses bersama. Mulai dari keluarga, sekolah, media massa, instansi negeri, swasta, dan industri kreatif berperan dalam internalisasi identitas nasional ini. Jika kerja bersama ini dilakukan maka budaya populer bukan lagi ancaman bagi krisis identitas nasional.

Presiden Jokowi telah mencontohkan sendiri dengan gebrakannya pada Upacara Detik-Detik Proklamasi, menginstruksikan semua peserta mengenakan baju adat daerah. Agnes Monica menjadi viral dengan kostum batik yang dia kenakan di video klipnya. Teladan telah ditampilkan maka kita tinggal meneruskan dan menjadikannya sebagai viral. Viral menguatkan identitas nasional.

 

*Penulis adalah mahasiswi S3 Studi Islam UIN Walisongo Semarang; dosen Dakwah dan Komunikasi STAIN Kudus; anggota ELKASYF, Litbangkominfo PC Muslimat NU Kudus, dan Ketua Yayasan Aboesiri Klambu.

Share this Post: