Prodi

Ajaran Sosial Tarekat By: Masturin

Agama memiliki beberapa peran dalam kehidupan sosial, diantaranya sebagai kontrol sosial, dan berperan dalam perubahan sosial. Sebagai kontrol sosial diantaranya dapat dilihat dari adanya lembaga-­lembaga yang sesuai dengan kontrol untuk kehidupan yang bersifat insting. Sedang perubahan sosial, menurut Selo Soemarjan, adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok dalam masyarakat.

Menurut Clifford Geertz, dalam The interpretation of cultures (Tafsir kebudayaan), untuk mendekati peristiwa sosial, perlulah seorang ilmuwan tidak sekedar mencari hubungan sebab akibat, melainkan berupaya memahami makna yang dihayati dalam sebuah kebudayaan. Sebab kebudayaan adalah anyaman makna-makna, dan manusia adalah binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna itu. Karena itu kebudayaan bersifat simiatis dan kontektual.

Sikap dipandang merupakan faktor yang ikut menentukan perilaku, artinya ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi keberlakuan teori tentang perilaku‑

perilaku. Sebaliknya, kalau sikap tidak bisa menjelaskan perilaku dikarenakan perilaku diukur secara khusus atau spesifik sedangkan sikap diukur secara umum.

Fishbein (1980) mengelaborasi teori yang menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi sikap. Ia menunjukkan bahwa perilaku erat kaitannya dengan niat. Sedangkan niat akan ditentukan oleh sikap. Jadi sikap tidak bisa menjelaskan secara langsung terhadap perilaku.

Pengkajian masyarakat oleh sosiologi dimungkinkan karena manusia sebagai anggota masyarakat berpikir dan bertindak dengan cara-cara. yang berpola. Ia semua dapat diamati dan dianalisis dengan cukup teliti, meskipun tidak secermat pengkajian dalam ilmu alam.

Pola kelakuan adalah suatu cara bertingkahlaku yang diciptakan untuk ditiru oleh banyak orang. Suatu cara bertindak menjadi suatu pola bertindak yang tetap melalui proses pengulangan (peniruan) yang dilakukan oleh banyak orang dalam waktu relatif lama sehingga terbentuk suatu kebiasaan.

Umumya pengkaji tarekat hanya melihat dari aspek historis, bukan aspek substansi ajarannya. Secara historis lahirnya tarekat diawali dari ketidak puasan terhadap formalisme dan legalisme, dan sebagai jawaban terhadap ketimpangan sosial budaya di kalangan umat Islam, khususnya di kalangan penguasa. Dengan demikian tarekat bisa dikatakan sebagai reaksi sosial, dan bisa dikatakan sebagai tanggung jawab sosial. Reaksi maupun tanggung jawab seperti ini adalah cocok pada masa itu, namun untuk masa sekarang perlu dipertanyakan.

Untuk masa sekarang dan ini bisa dilihat dari substansi ajaran tarekat dituntut melakukan orientasi dan melaksanakan tanggung jawab baru, yakni penyempurnaan moral individual ke moral struktural (sosial) dengan cara-cara merubah dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke etika sosial, dari mediasi ke tindakan terbuka, dari passif ke aktif, dari orientasi vertikal ke horisontal, dari kesatuan khayal ke persatuan nyata.

Dalam tarekatsetidak-tidaknya ada dua terminologi yang bisa ditarik ke ajaran sosial, yakni Futuwwah dan Itsar. Istilah futuwwahberasal dari kata fata(pemuda/kesatria), dia adalah sosok manusia ideal, mulia dan sempurna, ramah dan dermawan, termasuk nyawanya, demi kepentingan orang lain, dan termasuk di dalamnya ialah sikap berusaha menghapus rasa keangkuhan, sabar dan tabah terhadap cobaan, dan meringankan kesulitan orang lain, pantang menyerah terhadap kedlaliman, ikhlash, berarti cinta kasih, dan cinta kepada kasih sayang itu sendiri. Doktrin ini sangat prinsipil dalam tarekat, yakni mau mengorbankan apa yang dimilikinya, termasuk nyawasebagai suatu hak milik yang sangat berharga. Inilah makna firman Allah dalam surat AliImran ayat 92.

Perilaku futuwwahini dapat dilihat pada Rasulullah saw. terhadap Ahl al­Shuffah. Abu Dzar al-Ghifari yang mau menjadi jaminan atas seorang tahanan ’Umar ibn Khaththab. Ali ibn Abi Thalib, yang bersedia tidur di atas tempat Nabi Muhammad saw. Nuri tampil untuk menggantikan Raqqam untuk dibunuh dalam keputusan pengadilan yang akhirnya hukuman itu dibatalkan.

Ajaran sosial tarekat yang lain ialah al-itsar, yaitu mementingkan orang lain daripada diri sendiri. Sifat ini dipuji oleh Allah. Konsep itsar ini tercermin dalam perhatian yang tulus (great concern)kepada orang-orang yang mendapatkan kesulitan, yang memerlukan pertolongan, kaum fuqaradan masakin, yang mendapatkan musibah, atau teraniaya. Abu Hasan pernah manyatakan bahwa persahabatan adalah lebih baik daripada menyendiri (’uzlah). Dalam persahabatan terdapat keridlaan Tuhan Yang Maha Pengasih.

Banyak riwayat yang merekomendasikan sifat ini. Sahabat Abu Bakar rela memberikan seluruh hartanya demi kepentingan perjuangan. Shahabat Anshar rela memberikan sebagian hartanya kepada shahabat Muhajir sepertikasus Abd al-Rahman ibn ’Auf dengan Sa'ad ibn Rabi'. Ada sepuluh orang darwisy tersesat jalan di padang pasir dan ditimpa kehausan, sementara mereka hanya mempunyai secangkir air. Masing-masing tidak mau meminumnya karena mengutamakan temannya, sehingga sembilan diantaranyameninggaldunia. Hanya seorang yang masih hidup.

Konsep futuwwahtitikberat pada dampak perseorangan, maka al-itsarmempunyai dampak sosial. Sikap menyantuni kaum lemah, mendorong orang untuk melakukan tindakan yang mencerminkan solidaritas sosial. Ada orang mengkritik bahwa sikap seperti itu sebagai sikap yang tidak membantu menyelesaikan masalah, karena hanyabersifat karikatif, tetapi si pengkritiklupabahwa bersamaan dengan kecintaan kepada orang miskin ada sikap lain yang berkaitan, yaitu sikap menahan diri untuk tidak hidup mewah.

Banyak HaditsNabi saw. menyuruh kita mencintai orang-orangmiskin, akrab bargaul dengan mereka serta banyank pula ajaran yang menunjukkan kepada kitatentang keutamaanorang miskin. Perintah seperti itu jelas-jelasbukan saja melahirkan tindakan karkatif, tetapi juga kesediaan untuk menghindari hal-hal yang mewah disaat-saat saudara kita yang muslim sedang dalam keadaan kekurangan.Dan sikap-sikap seperti itu hanya ada pada diri sufi yang telah benar-benar menghayati ajaran Islam, yang tertanam dalam jiwanya ”layamliku syai'an wa la yamlikuhu syai’un”, ghaniyyun fi faqrih wa faqirun fi ghinah, tawakkal, qana’ah, shabar, ridladan sebagainya.

 

Share this Post: