Prodi

PERGURUAN TINGGI DAN INTELEKTUAL PUBLIK Oleh: Ulfa Masamah, S.Pd.Si., M.Pd.

PERGURUAN TINGGI DAN INTELEKTUAL PUBLIK

Oleh:
Ulfa Masamah, S.Pd.Si., M.Pd.
Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus

Terdapat anggapan bahwa perguruan tinggi dengan berbagai desain pembelajaran dan seperangkat sistemnya mampu melahirkan akademisi‒akademisi yang tanggap terhadap persoalan sosial (read: intelektual publik). Dewasa ini, muncul wacana jika intelektual publik menjadi “sesuatu yang langka,” bahkan bisa dikatakan “makhluk yang terancam punah,” karena tidak semua akademisi mampu menjadi intelektual publik. Disadari atau tidak, intelektual publik bukanlah sesuatu yang dapat diproduksi melalui sistem pendidikan tertentu, karena kemunculannya bersifat “alamiah” yang tumbuh dan berkembang karena faktor kesadaran yang terbangun dari persoalan sosial yang mengitarinya.

Kehadiran intelektual publik dalam beberapa dekade terakhir sebagai kritikus budaya dan sosial, hampir selalu memainkan peran penting di dalam masyarakat Indonesia. Dari wacana tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar bukan hanya tentang fungsi sosial dari akademisi, tetapi juga tentang hubungan antara pendidikan tinggi dan kehidupan publik, antara kerja akademis dan isu-isu yang membentuk masyarakat yang lebih luas. Anggapan yang ada, perguruan tinggi hanya mencetak “intelektual selebriti” yang pandai merumuskan meta‒teori dan kurang memiliki kepedulian terhadap persoalan sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun gender yang sedang berkembang di masyarakat. Mereka cenderung menutup mata dan telinga dari berbagai realitas tersebut. Di lain pihak masyarakat mengharapkan adanya intelektual publik, yang mempunyai kewajiban mempublikasikan hasil karya penelitian ke ruang publik untuk memberikan tawaran solusi atas persoalan sosial yang dihadapi masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk refleksi praktik intelektual mereka sendiri, agar mampu menangkap wacana, pemahaman dan sikap yang utuh tentang persoalan apa saja yang mungkin berarti untuk merangkul peran mereka sebagai intelektual publik.

Akankah anggapan jika perguruan tinggi selama ini hanya mencetak “intelektual selebriti” tersebut menjadi sebuah awal kritik yang membangun bagi lembaga pendidikan? Dimana kita dapat mendapatkan sosok intelektual publik dari perguruan tinggi, yang selama ini dikenal sebagai tempat akdemisi‒teoritis bahkan aktivis berkumpul? Wacana yang bisa ditangkap adalah bagaimana perguruan tinggi diharapkan mampu menampilkan diri sebagai media yang mampu mendorong munculnya intelektual publik. Atau paling tidak, perguruan tinggi memberikan landasan teoritis‒filosofis bagi akademisi agar mampu merespon permasalahan sosial, korupsi, perpolitikan yang tidak menentu, hukum yang diperdagangkan, kesehatan, kekerasan, pluralisme dan bentuk konflik horizontal lainnya.

Siapakah Intelektual Publik?

Term intelektual  publik digunakan untuk menunjuk seorang intelektual yang terlibat dalam persoalan umum daripada wacana akademis atau profesional lainnya. Terlepas dari keahliannya, intelektual publik adalah mereka yang mampu merespon persoalan yang berkembang di tengah masyarakat, seperti HAM, pluralisme, demokrasi, gender, wacana agama di ruang publik, defabel maupun peminggiran kalangan minoritas, dan bentuk konflik horizontal lainnya. Akademisi yang semacam ini diperkirakan akan “naik di atas keasyikan parsial profesinya sendiri,” dan terlibat secara intensif dengan isu-isu global, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, keterbelakangan, dll. Artinya, intelektual publik merupakan akademisi yang mampu memberikan tawaran solusi atas persoalan masyarakatnya secara praxis.

Istilah yang serumpun dengan intelektual publik adalah intelektual organik, merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap antara teori dan praktik. Intelektual organik menganggap, tidak cukup peran intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku atau tulisan an sich. Sebaliknya, lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak. Di satu sisi, intelektual organik harus merumuskan kajian teoritis, di sisi yang lain bagaimana intelektual organic tersebut harus melandingkan gagasan tersebut dalam kehidupan sosial dengan berbagai problem yang dihadapinya.

Intelektual publik, setidaknya mempersyaratkan empat hal, yaitu value, keimanan, metode sebagai way of thinking, dan rasionalitas. 1) Value yang dimaksudkan sebagai bentuk nilai yang secara konsisten diperjuangkan dan berusaha untuk diwujudkan demi tercapainya coming good bagi semua masyarakat. Apa yang diusung oleh intelektual publik dalam value secara umum bertujuan untuk ruang keadilan, kesetaraan, persamaan, dan bentuk demokratisasi yang sama diantara warga Negara; 2) Terkait dengan keimanan, intelektual publik sudah tidak berpikir lagi mengenai keyakinan sebagai sesuatu yang sakral, tetapi bagaimana mentransendensikan keyakinan tersebut dalam ruang sosial. Dengan bersinggungan dengan diskursus persoalan sosial yang kompleks itulah keimanan yang sesungguhnya akan menemukan relevansinya. Keimanan tidak hanya berada dalam ruang subjektif yang terkotak oleh bentuk agama tertentu, tetapi keimanan adalah wacana intersubjektif yang mampu memasuki ruang‒ruang dialogis kemanusian; 3) Metode sebagai bentuk way of thinking yang dimaksudkan adalah cara baca intelektual publik terhadap persoalan sosial dan bagaimana solusi yang ditawarkan. Intelektual publik dalam hal ini menawarkan bilingual bahasa, mengingat kompleksnya persoalan sosial, bahasa agama tidak mampu lagi mewadahi lagi problem tersebut, maka bahasa universal akan dapat berbicara banyak dalam aspek sosial, keadilan, kesetaraan dan perhormatan terhadap nilai‒nilai kemanusiaan secara umum; Terakhir, 4) reason yang harus dikembangkan adalah bentuk inter‒subjektif, dimana seorang intelektual publik harus mampu keluar dari subjektifitas sekat‒sekat ideologis agama dan politik untuk mengarah pada pembebasan, kesetaraan dan keadilan sosial. Keempat hal tersebut yang harus dimiliki seorang intelektual publik, dimana keempat aspek tersebut saling mempengaruhi dan melengkapi dalam membentuk karakter “akademisi plus.”

Akademisi sebagai Intelektual Publik

Menurut Jacques Derrida, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari demokrasi yang akan datang, yaitu, demokrasi yang harus selalu "terbuka untuk kemungkinan yang diperebutkan, dari bertarung sendiri, mengkritik dan tanpa batas memperbaiki dirinya sendiri." Pendapat Derrida tersebut paling tidak diharapkan mampu menggeser anggapan jika perguruan tinggi tidak hanya bicara pada bentuk “akademisi,” sebagai intelektual yang menguasai berbagai konsepsi teori pengetahuan, dan bergeser pada perguruan tinggi sebagai agen yang mendorong munculnya intelektual publik yang mendekatkan antara teori dan kenyataan sosial. Akademisi sebagai intelektual publik harus mengembangkan wacana yang menyatukan bahasa kritik dengan bahasa kemungkinan, dimana ia harus banyak mendengarkan suara masyarakat dengan berbagai persoalannya.

Intelektual publik memiliki tanggungjawab sosial dengan cara-cara yang memungkinkan mereka untuk memperjuangkan nilai‒nilai keadilan, membangun kesetaraan, dan menghormati kehidupan sipil. Hal terpenting bahwa untuk menjadi seorang intelektual publik adalah tidak ada alasan untuk menjadi dogmatis, kaku dan fundamentalis. Dengan sikap yang demikian, akan sulit untuk mewujudkan masyarakat yang baik otonom dan demokratis. Selain itu, fungsi sosial akademisi sebagai intelektual publik adalah untuk melihat perguruan tinggi sebagai aspek ekonomi, budaya dan sosial yang terkait erat dengan isu-isu politik, kekuasaan dan kontrol. Dalam pengertian, perguruan tinggi melakukan lebih dari menyampaikan dengan cara yang obyektif seperangkat nilai-nilai dan pengetahuan. Sebaliknya, perguruan tinggi merupakan tempat yang mewakili bentuk-bentuk pengetahuan, praktik bahasa, hubungan sosial dan nilai-nilai yang pilihan tertentu dan pengecualian dari budaya yang lebih luas. Perguruan tinggi berfungsi untuk memperkenalkan dan bentuk-bentuk tertentu yang sah dari kehidupan sosial yang sesungguhnya.

Membaca akademisi sebagai intelektual publik, kita dapat menangkap ide penting bahwa semua aktivitas manusia melibatkan beberapa bentuk pemikiran. Tidak ada aktivitas, terlepas dari bagaimana rutinitas itu bisa menjadi, dapat diabstraksikan dari fungsi pikiran dalam beberapa kapasitas. Ini adalah masalah penting, karena dengan alasan bahwa penggunaan pikiran merupakan bagian umum dari semua aktivitas manusia, kita menghargai kemampuan manusia untuk mengintegrasikan pemikiran dan praktk. Dalam hal ini bisa menampilkan contoh‒contoh akademisi sekaligus intelektual publik, seperti Azyumardi Azra, Amin Abdullah, dimana jejak pemikirannya tidak hanya dituliskan secara teoritis an sich, tetapi juga terwadahi dalam berbagai praktik sosial.

Secara umum perguruan tinggi merupakan tempat untuk mengkarakterisasi dirinya sebagai ruang berpikir kritis, kerja kolektif, dan pelayanan publik. Intelektual publik harus mendefinisikan pengetahuan, keterampilan, penelitian, dan praktik intelektual yang nyata dalam konteks sosial. Menarik teori pada dimensi praktik merupakan tantangan besar bagi intelektual publik sebagai praktik intelektual, karena semua hal tersebut menuntut adanya moralitas, ketelitian dan tanggungjawab yang memungkinkan akademisi sebagai intelektual publik untuk berbicara dengan keyakinan, gunakan ruang publik untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang penting, dan menunjukkan model alternatif untuk menjembatani kesenjangan antara perguruan tinggi dan masyarakat luas. Dengan demikian, intelekual publik sebagai agen pencerahan memikul tanggungjawab dan moralitas dengan setumpuk persoalan sosial yang masih menunggu untuk mendapatkan tawaran solusi. Keberadaan intelektual publik ini seperti obor yang menerangi gelapnya kehidupan masyarakatnya.

Share this Post: