Prodi

TAFSIR SOSIAL TRADISI KUPATAN

TAFSIR SOSIAL TRADISI KUPATAN

Muhamad Mustaqim*

 Bagi masyarakat Jawa, hari raya atau bada itu tidak hanya Idul Fitri dan Idul Adha, namun ada satu bada lagi yang dikenal dengan bada kupat. Bada kupat ini dirayakan tepat satu minggu setelah perayaan lebaran Idul Fitri, 1 Syawal pada penanggalan Hijriyah. Di beberapa daerah, perayaan bada kupat ini dikenal juga dengan istilah kupatan atau syawalan.

Terminologi kupat sendiri merupakan adopsi dari makanan yang bernama kupat. Kupat atau dalam bahasa Indonesia lazim disebut ketupat, merupakan makanan khas lebaran yang terbuat dari beras yang dikemas oleh anyaman janur atau daun kelapa yang dibentuk sedemikian rupa. Sehingga banyak orang yang menyimbolkan lebaran itu dengan ketupat, di samping bedug, jabat tangan atau masjid.

Agak sulit kiranya untuk menulusuri sejarah munculnya kupat sebagai simbologi lebaran. Konon, awal munculnya kupat merupakan buah kreatifitas para Wali songo dalam melakukan pendidikan Islam pada masyarakat Jawa yang cenderung simbolis dan mistis. Kupat sendiri merupakan kerata basa dari parafrase ‘ngaku lepat’ (mengaku bersalah). Sehingga kupat merupakan ungkapan permohonan maaf  bagi seseorang kepada orang lain.

Nah, kupat ini harus diberikan kepada orang lain sebagai bentuk interaksi sosial bermakna saling memaafkan. Hal ini tercermin pada perayaan bada kupat, di mana masyarakat membawa kupat, lontong dan uba rampenya ke musholla atau masjid kemudian memakannya bersama-sama, dengan catatan seseorang tidak boleh memakan kupat bawaannya sendiri. Di sebagian daerah, uba rampe yang biasa menyertai kupat ini adalah lepet (luput = bersalah), kue apem (afwun = maaf), yang semuanya menyimbolkan pada ungkapan pengakuan salah dan permohonan maaf.

Simbologi maaf yang tersirat melalui kupat dan ubo rampe tersebut merupakan manifestasi dari makna agung Idul Fitri itu sendiri. Idul fitri secara bahasa berarti “kembali suci”. Tipologi muslim yang sejati adalah yang mampu menjadi pribadi yang suci, setelah digodok selama satu bulan dalam pendidikan Ramadhan. Secara teologis, prasyarat kesucian manusia meniscayakan dua dimensi. Pertama, dimensi vertical, yani hubungan antara manusia dengan tuhan (hablun min Allah). Pada dimensi ini, pengampunan Tuhan bisa saja dicapai melalui ritual ibadah pada Bulan Ramadhan, yang di dalamnya terdapat berbagai rahmat dan ampunan. Sehingga orang yang menjalani ramdhan dengan iman dan ihtisaban (mengharap ampunan Allah) akan mendapat jaminan dari Allah, diampuni semua dosa yang telah lalu, ghufira lahu ma taqaddama min danbihi.

Sedangkan dimensi kedua, adalah dimensi horizontal (hablun min al-nas). Dimensi ini mengisyaratkan bahwa seorang muslim hanya bisa menjadi suci, jika ia mampu menyelesaikan hak-hak kemanusiannya. Artinya, jika ia pernah melakukan salah, maka ia harus meminta maaf dan mencari ikhlas dari orang yang pernah didzalimi tersebut. Dengan kata lain, Tuhan tidak akan memaafkan kesalahan yang berkaitan dengan manusia, sebelum ia minta maaf secara langsung kepada orang yang bersangkutan. Inilah hakekat Idul Fitri, kembali suci dengan mencari keridhaan dari Tuhan dan manusia.

Sehingga tradisi idul fitri ini secara massif melahirkan tradisi turunan yang bernama halal bihalal. Dan perlu dimengerti, bahwasanya istilah halal bihalal ini merupakan produk lokal Indonesia, meskipun istilah ini memakai bahasa Arab. Konon di Timur Tengah, istilah dan tradisi halal bihalal ini tidak dikenal.

Bada kupat bagi sebagian masyarakat Jawa merupakan puncak dari tradisi lebaran. Setelah melakukan takbir dan zakat fitrah yang bermakna penyucian diri kepada Allah, tradisi unjung dan halal bihalal yang bermakna penyucian diri kepada manusia, maka puncak dari ritual ini adalah perayaan bada kupat yang merupakan ungkapan suka cita menyambut fitri lahir batin. Sehingga di berbagai daerah, perayaan kupatan atau syawalan ini di langsungkan meriah di berbagai obyek wisata. Kupatan atau syawalan meupakan simbol kesucian, terbebasnya dari kesalahan antar manusia sehingga banyak orang yang melakukan suka cita, bahkan euphoria.

Tafsir sosial ini hanya sebuah upaya untuk memahami realitas budaya yang berjalin kelindan dengan ajaran agama. Idul fitri yang merupakan perayaan agama, ternyata melahirkan berbagai tradisi turunan yang merupakan kearifan local yang sarat makna. Hanya saja, manusia masa kini sering kali mengabaikan makna mulia tersebut, karena terlalu euphoria dengan kesenangan dan kemenangan. Benarkah kita sosok yang “kembali fitri”, yang pantas merayakan kemenangan tersebut? Semoga.    

*Dosen STAIN Kudus.

Share this Post: