Prodi

MUDIK

MUDIK

Muhamad Mustaqim*

 Kosakata mudik, barangkali menjadi kosakata khas Indonesia. Secara bahasa, mudik berasal dari kata ‘udik’ yang berarti desa atau kampung. Ketika diartikan secara bebas, mudik merupakan proses kembali ke desa atau kampung masing-masing. Dalam pandangan sosiologis, fenomena mudik ada karena ada urbanisasi. Urbanisasi merupakan proses perpindahan masyarakat dari desa menuju kota. Dengan kata lain, mudik bisa disebut juga dengan istilah ruralisasi, meskipun istilah ini jarang sekali digunakan.

Fenomena mudik menjadi tradisi yang menyatu dengan lebaran. Hal ini sangat beralasan, karena lebaran merupakan momentum tahunan yang memberikan peluang ’terbesar’ untuk pulang kampung. Bagi seseorang yang terikat secara ketat dengan pekerjaan, maka lebaranlah salah satu kesempataan untuk bisa menengok sanak keluarga, karena ada hak untuk libur secara panjang. Sehingga lebaran dipilih oleh hampir kebanyakan orang untuk bisa bermudik ria.

Di samping itu, mudik mengisyaratkan adanya rasa kekeluargaan dan kohesi sosial yang tinggi. Setiap orang, siapapun dia dan apapun statusnya, secara fitrah diciptakan dalam ikatan keluarga. Ikatan ini akan sangat terjaga sampai kapanpun. Sehingga seseorang akan mati-matian, berupaya segenap tenaga dan sumber daya untuk bisa menjalin ikatan kekeluargaan tersebut. Ikatan inilah yang oleh agama Islam disebut dengan silaturrahim. Dan lebaran merupakan momentum untuk bersilaturrahim, termasuk pada keluarga nun jauh di kampung, dengan tradisi mudik.

Inilah kearifan sosial-religius mudik. Dengan bertemu keluarga, kampung halaman maka akan terjalin komunikasi, yang pada akhirnya terbungkus oleh saling bermaafan. Mudik secara tidak langsung mengisyaratkan pengakuan dosa sosial kita kepada orang lain, khusunya keluarga. Dan dosa sosial itu, dalam Islam tidak hanya bisa ditebus melalui taubat saja, namun juga harus ada konfirmasi huququl adami, harus ada keikhlasan (pemaafan) dari orang yang bersangkutan.

Nilai sosial-religius itu kemudian ditambah dengan ikatan tanah air yang melekat pada kampung halaman. Pada dasarnya, manusia mempunyai nilai primordial yang tinggi. Primordialitas tersebut merupakan nilai abadi yang selalu mendasari kehidupan manusia. Primordialitas akan tanah air dan kampung halaman menjadi fitrah yang akan selalu dikenang. Dalam konteks lebaran, mudik adalah manifestasi nilai primordialitas tersebut, melalui momentum idul fitri yang suci.

Secara politis, mudik memberi pesan bagi kita bahwa ada kesenjangan yang luar biasa dalam pembangunan. Terjadi jurang yang lebar dalam pemerataaan pembangunan, sehingga banyak orang yang untuk mencari kesejahteraan tersebut harus meninggalkan kampung. Mudik merupakan pelajaran bagi pemerintah, untuk bekerja keras dalam melakukan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Jika desa mampu menghadirkan lapangan kerja yang menjanjikan kesejahteraan, maka fenomena mudik tidak hanya terjadi setahun sekali, tapi bisa saja setiap minggu, bahkan setiap hari. Karena fenomena mudik terkadang harus dibayar mahal dengan antrian panjang, berdesak-desakan, bahkan tak jarang sampai harus kehilangan nyawa.

Mudik dengan segala problematikanya selalu menjadi isu nasional, khususnya yang berkenaan dengan transportasi. Anehnya, pemerintah terkesan insiden dalam pembangunan infrastruktur jalur mudik. Sehingga model kebut dan kejar tayang pembangunan sering kali tidak tepat target dan malah menjadi kendala tersendiri bagi kelancaran arus mudik.

Terlepas dari persoalan tersebut, mudik adalah fitrah. Pada dasarnya, semua manusia akan ”mudik” kepada hakekat penciptaannya. Kita semua akan mudik, kembali kepada Nya, suatu saat nanti. Jika seorang pemudik menyiapkan bekal yang cukup untuk tujuan mudik, baik saat perjalanan maupun ketika di tempat tujuan mudik, yakni dengan berbagai pada tetangga, menyantuni sanak saudara, dan memberikan yang terbaik pada keluarga. Maka mudik kita kepada Tuhan juga harus menyiapkan bekal yang cukup, baik untuk bekal di dunia, maupun bekal ketika menghad-Nya. Dan sesungguhnya, sebaik-baik bekal adalah taqwa (Q.S., 2: 197).

 

*Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus.
Share this Post: