Prodi

Puasa: Megajarkan Keseimbangan Individu dan Sosial

Oleh Dr. Nor Hadi, S.E, M. Si, Akt, CA

Kita patut bersyukur, karena masih dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan bulan yang penuh berkah setelah setahun menunggunya. Kesempatan baik ini, mari kita pergunakan sebaiknya untuk meningkatkan amal baik agar bulan suci Ramadhan kali ini memiliki tingkat derajat lebih tinggi dibandingan Ramadhan sebelumnya, meskipun berada dalam kondisi pandemi Covid-19. Bagi orang yang beriman, ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipat-gandaan pahala kebaikan, dan pengangkatan derajat.

Berpuasa tidaklah sebatas menjaga nafsu dan syahwat, namun lebih daripada  itu, berpuasa mengandung makna anjuran untuk menjaga diri tidak melakukan berbagai hal yang dibenci dan dimurkai oleh Allah Swt, baik yang dilakukan oleh: mata, lisan, telinga, maupun bagian tubuh yang lain. Menjaga diri agar tidak berkata hal yang sia-sia, tidak mendengar segala hal yang diharamkan oleh Allah Swt.

Patut diketahui, ibadah puasa bukanlah hanya sekedar menahan makan dan minum, serta menjaga dari kemaksiatan sebagai bentuk ritual individual yang merupakan ekspresi keshalehan individu kepada Allah Swt. Nilai yang lebih besar juga dapat dicapai dengan meningkatkan keshalehan sosial, yaitu berbuat baik dan membantu sesama yang membutuhkan. Inilah sesungguhnya implementasi puasa, sebagai bentuk ke-kaffahan manusia diciptakan oleh sang Kaliq. Upaya menjaga hubungan baik terhadap Allah Swt sang pencipta, juga menjaga hubungan baik dengan sesama manusia (khablum-minaAllah wa khablum-minannass) harus selalu dilakukan.

Menjaga Keseimbangan “Iktibar dari Cerita Nabi Musa. AS”.

Suatu masa, Nabi Musa berjalan menuju Bukit Sina (tempat di mana Nabi Musa menerima perintah-perintah Allah Swt). Didalam perjalanan, beliau bertemu dengan seorang ‘abid (ahli ibadah) yang sedang ber-uzlah (menjauhkan diri dari keramaian dan kemaksiatan). Pada saat sang ‘abid melihat Nabi Musa, sang ‘abid mendekat dengan penuh antusias dan penuh harap. Ketika sang ‘abid sudah dekat dengan Nabi Musa, sang ‘abid-un bertanya “wahai Nabi Allah, jika engkau menemui Allah, tolong tanyakan kepada Allah, di surga tingkat berapa nanti aku ditempatkan?”.

Mendengar pertanyaan itu, Nabi Musa balik bertanya, “lho, bagaimana engkau bisa memastikan dirimu akan masuk surga?”. Sang ‘abid-pun menjawab, “bagaimana tidak, wahai Nabi Allah, sudah 40 tahun saya mengasingkan diri dari keramaian, keduniaan, dan kemaksiatan. Selama itu juga, saya meninggalkan segala-galanya, tidak pernah melakukan perbuatan dosa, saya hanya berdzikir dan beribadah kepada Allah Swt. Aku tidak makan kalau tidak ada daun-daun yang jatuh ke pangkuanku, dan tidak minum kalau tidak ada air hujan jatuh.

Setelah diantara keduannya selesai bercakap-cakap, Nabi Musa segera melanjutkan perjalanan. Di Bukit Sina, Nabi Musa berjumpa dengan Allah Swt. Beliau-pun menyampaikan pertayaan sang ‘abid kepada Allah Swt, “Ya Allah Swt, di tengah perjalananku aku bertemu dengan seorang hamba-Mu. Dia ingin tahu di surga tingkat berapakah gerangan tempatnya nanti?”. Allah Swt menjawab atas pertayaan Nabi Musa: “wahai Musa, sampaikan kepadanya bahwa tempatnya adalah di neraka.” Nabi Musa terkejut.

Sepulangnya Nabi Musa dari bukit Sina, beliau menemui sang ‘abid. Melihat Nabi Musa datang, sang ‘abid dengan penuh semangat menemuinya, dan bertanya seperti pertanyaan sebelumnya, “di surga ke berapa tempatku nanti wahai Rasulullah?. Nabi Musa lama terdiam, kesulitan mengungkapkan jawaban, khawatir mengejutkan sang ‘abid. Seraya Nabi Musa menjawab, “tempatmu nanti di neraka”. Mendengar jawabana dari Nabi Musa, sang ‘abid-pun terperanjat, seraya berkata, “bagaimana mungkin wahai Nabi Allah, saya 40 Tahun beribadah tetapi diganjar dengan neraka,  pasti engkau salah dengar. Tolong engkau kembali lagi kepada Allah Swt, tanyakan kembali di surga ke berapa tempatku kelak.” 

Nabi Musa kembali menemui Allah Swt. Setelah ketemu Allah Swt, Nabi Musa bertanya kembali “Ya Allah Swt, hambamu ingin kejelasan, apa benar tempatnya sang ‘abid kelak di neraka?”. Allah Swt-pun menjawab, “katakan, tempatnya di surga, Aku tadinya memang akan menempatkannya di neraka. Aku menciptakan manusia bukan untuk egoistis, apapun alasannya, termasuk alasan spiritual. Aku menciptakan manusia sebagai khalifah dan untuk saling membantu sesamanya”.

Harus diketahui, Pada saat Nabi Musa berjalan menuju Bukit Sina, sang ‘abid tersebut tersungkur sujud, menangis sejadi-jadinya. Ia memohon kepada Allah Swt kalau benar ditempatkan di neraka agar tubuhnya diperbesar sebesar pintu neraka Jahanam, supaya tidak ada orang lain yang bisa masuk ke dalamnya selain dirinya. Pada saat itulah, sang ‘abid tidak egoistis, kembali ke pangkuan realitas kehidupan. Saat itu sang ‘abid telah memikirkan kepentingan orang lain selain dirinya. Akhirnya, sang ‘abid pun dijanjikan dimasukkan kedalam surga Allah Swt.

Mencermati cerita tersebut, terdapat pesa indah dalam Al-Qur’an, bahwa ibadah individu dan ibadah sosial yang dalam bahasa agama disebut habl min Allah wa habl min an-nas harus dijalankan secara seimbang. Menjalankan ritual puasa serta mengisinya dengan zikir, tahlil, tahmid, shalat sunnah, sholat tarawih, dan sholat malam lainnya tetap hars ditingkatkan untuk memperoleh bobot ketaqwaan kepada Allah Swt. Namun, menolong sesama serta meringankan beban sesama yang mebutuhkan tidak boleh dilupakan. Ketahuilah bahwa dalam rizki kita tersimpan bagian para pihak yang membutuhkan (kaum fakir dan miskin). Kedua jenis ibadah tersebut merupakan dua sisi ibadah yang tidak dapat dipisahkan. Kita tidak diperbolehkan hanya mementingkan ibadah sosial atau kesalehan sosial, dan melupakan ibadah ritual atau kesalehan individu, begitu juga sebaliknya.

Cerita terkait sang ‘abid tersebut sangat jelas, betapa juhud-nya sang ‘abid, dimana selama 40 tahun meninggalkan duniawi, tidak mlaksanakan maksiat untuk memperoleh ridho Allah Swt, dan memperoleh pahala surga. Namun sikap egois dan memikirkan dirinya sendiri seperti itu, justru dapat membawa balasan yang paing tidak diinginkan. Keseimbagan ibadah, yaitu merelakan untuk memikirkan dan membantu masalah-masalah yang dihadapi sesama, merelakan dirinya menjadi penutup pintu neraka bagi yang lain, membuat keputusan Allah Swt berubah, yang ada akhirnya sang ‘abid dimasukkan kedalam surga Allah Swt.  

Share this Post: