Prodi

KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MUSLIM DI KABUPATEN KUDUS Oleh : Drs. H. Muhammad Afif

Pendidikan agama yang semakin semarak dewasa ini cukup layak mendapatkan apresiasi dari semua pihak. Namun di sisi lain masih sering dikeluhkan pula bahwa pendidikan agama belum cukup menghasilkan orang yang luhur dalam hidup dan tindakannya. Sebaliknya, pendidikan agama malah ditengarai banyak menghasilkan orang yang beragama tetapi hidup sehari-harinya tidak diwarnai oleh ajaran agama yang diperolehnya. Nilai-nilai agama cenderung tidak diamalkan dan hanya berhenti pada pengetahuan dan wacana.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa proses internalisasi nilai-nilai agama belum sepenuhnya berhasil. Oleh karena itu tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa ajaran agama belum banyak berpengaruh pada perubahan perilaku umat beragama untuk menjadi orang yang luhur budi pekertinya dan baik tindak tanduknya.

Sementara itu, terlepas dari tersedianya sumber-sumber autoritatif doktrin Islam yang tersebar di seluruh dunia, padkenyataannya masih terdapat perdebatan yang mencolok di antara umat Islam dalam memahami, memaknai, dsan mengimplementasikan ajaran Islam. Perbedaan pendapat antar kelompok juga sering terlihat dalam mengekspresikan simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ditentukan oleh berbagai faktor yang melarbelakanginya, seperti sejarah dan proses masuknya Islam ke suatu wilayah, kekuatan-kekuatan dominan yang berpengaruh, kemampuan agama beradaptasi dengan sistem budaya setempat, dan ada-tidaknya dukungan politik dalam proses penyebaran ajaran agama itu. Semua faktor ini telah menjadi penyebab munculnya diversitas budaya di kalangan umat Islam sendiri.

Sekedar menunjuk sebuah contoh, penyebaran Islam di Inonesia sejak abad ke-13 M. terjadi bersamaan dengan kemerosotan citra politik dunia Islam akibat penghancuran Baghdad oleh tentara Mongol (1258). Oleh karena itu, ketika masuk ke Indonesia, Islam tidak mampu melakukan penetrasi budaya secara kuat. Sering I akatakan pula Islam datang ke Indonesia dengan mengikuti jejak para saudagar, dan bukan dengan jalan penaklukkan. Akibatnya, Islam tidak mampu menjadi kekuatan tranformatif yang dapat merombak kehdiupan bangsa Indonesia secara radikal dan cepat, seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, sekitar tujuh abad sebelumnya.

Secara politis keberhasilan Raden Patah mengalahkan Majapahit dan membangun Kesultanan Demak (1478) memiliki pengaruh besar bagi perkembangan Islam di Jawa. Namun sayangnya, keberhasilan ini tidak dibarengi dengan intensifikasi penyebaran Islam. Bahkan sebelum para sultan sesudahnya berhasil mengintensifkan penyebaran Islam, mereka juga segera harus menghadapi ancaman baru yang datang dari Eropa pada awal abad ke-16 M. Kedatangan penjajah dari dunia Kristen Barat tersebut juga memiliki kepentingan khusus untuk memantapkan hegemoni mereka dengan mencegah penyebaran Islam, sebab agama ini dipandang sebagai sumber resistensi atas pengaruh perluasan pengaruh negara penjajah.

Negara penjajah melakukan berbagai upaya untuk mendangkalkan pemahaman keagamaan penduduk lokal. Islam dibiarkan berkembang sejauh itu mengangkut masalah ritual. Tetapi di luar itu, terutama terkait dengan kekuasaan, sistem hukum, dan kegiatan politik harus dipangkas agar tidak menjadi hambatan bagi kepentingan kolonial (B.J. Boland: 2000). Pendangkalan pemahaman keagamaan menjadi agenda penting penguasa kolonial dengan menawarkan peradaban Kristen Eropa sebagai alternatif untuk memajukan kehidupan masyarakat pribumi. Dengan dalih seperti itu kaum penjajah mendekati kalangan elit priyayi agar bersikap akomodatif terhadap penguasa kolonial dengan menghembuskan isu bahwa ajaran yang paling sesuai dengan kepribadian mereka adalah spiritualitas Jawa yang merupakan warisan peradaban klasik Jawa pra-Islam. Unuk mempertegas kepentingan mereka ini penjajah tidak segan-segan mencitrakan Islam sebagai agama sampah berasal dari abad tengah yang dibawa-bawa penganutnya sepanjang sejarah (Snouck Hurgronje: 1931). Dengan cara seperti itu kaum penjajah cukup berhasil menjauhkan para elit priyayi dari Islam, sehingga mereka menjadi semakin acuh dan asing terhadap Islam. Oleh karena itu, pengajaran dan pendidikan Islam hampir tidak pernah ditempatkan sebagai agenda penting dalam kebijakan para penguasa di Jawa kala itu.

Bagi masyarakat sendiri, karena sedikitnya sarana pengajaran agama yang intensif, pemahaman keagamaan mereka juga sulit berkembang. Banyak di antara mereka yang memahami agama tidak lebih dari sekedar tradisi yang mereka peroleh dari orang tua atau lingkungan sekitar. Pemahaman mereka tentang Islam yang tidak lengkap telah mengakibatkan percampuran atau sinkritisme yang tak terkendali antara tradisi Islam, Hindu-Budha, dan animisme. Tidak heran jika pada akhirnya Islam tidak mampu berubah secara radikal cara pandang (worldview) dan kebiasaan mereka agar sesuai dengan doktrin pokok yang diajarkan oleh agama.

Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua wilayah di Nusantara mengalami hal serupa dengan yang terjadi di Kudus. Wilayah-wilayah tertentu telah menerima Islam secara lebih mendalam dan berhasil membangun kekuatan politis dan ekonomi berbasis ajaran agama. Bahkan di wilayah pesisir tanah Jawa sendiri penyebaran Islam telah berlangsung secara lebih intensif dibandingkan dengan daerah pedalaman. Di sepanjang wilayah pesisir ini para tokoh agama mampu menunjukkan otonomi mereka dengan mengajarkan agama Islam secara mendalam. Oleh karena itu, corak keislaman yang mereka anut cenderung lebih puritan sebagaimana yang digariskan dalam sumber doktrin Islam.

Tingkat pemahaman agama yang tidak merata seperti diuraikan di atas telah menjadi penyebab bagi munculnya corak budaya yang berbeda-beda di kalangan umat Islam. Diversitas budaya yang tidak lepas dari tingkat pemahaman atau kemampuan memaknai doktrin agama ini juga menimbulkan perbedaan dalam mengimplementasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah kita bisa melihat mengapa corak keislaman yang ditampilkan di suatu daerah tidak harus sama dengan di daerah lain. Kecenderungan ke arah singkritisme, misalnya, secara umum lebih banyak ditampilkan oleh pemeluk Islam di daeah pedalaman, sedangkan kecenderungan ke arah puritanisme lebih banyak diekspresikan di wilayah pesisir, seperti disebuitkan di atas. Adalah sangat menarik untuk mengkaji keterkaitan antara diversitas budaya ini dengan tingkat keberagamaan yang terdapat di suatu masyarakat.

Persoalan mendasar yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana komitmen keberagamaan masyarakat muslim di Kabupaten Kudus Tahun 2008. Dari sini muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1.      Bagaimanakah masyarakat muslim di Kudus memaknai komitmen keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

2.      Sampai sejauh mana masyarakat muslim di Kudus menunjukkan komitmen keberagamaan mereka dan simbol-simbol apa saja yang mereka gunakan.

3.      Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menjadi penghambat masyarakat muslim di Kudus dalam mengimplementasikan komitmen keberagamaan mereka.

4.      Sejauh mana pengaruh komitmen keberagamaan tersebut berdampak pada corak kehidupan sosial masyarakat muslim di Kudus.

5.      Apa perbedaan yang ditunjukkan masyarakat muslim dalam mengekspresikan komitmen keberagamaan mereka.

Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1.   Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang mengacu pada data non numerik, namun lebih mengacu pada data deskriptif yang diperoleh dari gejala-gejala sopsial yang bersaifat pleksibel (Lexy J. Moleong: 2001).

2.   Bentuk Penelitian

Sementara bentuk penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan karakteristik natural dan merupakan kerja lapangan (Julia Brennan: 2004).

3.   Lokasi Penelitian

Komitmen keberagamaan masyarakat muslim di Kudus cakupannya cukup luas. Untuk itu dalam pelaksanannya akan mengambil beberapa daerah yang ada di sekitar Kabupaten Kudus, yaitu: (a) masyarakat tani di Kecamatan Undaan Kudus, (b) masyarakat pedagang di Pasar Kliwon Kecamatan Kota Kudus, dan (c) masyarakat pejiarah di Makam Sunan Muria Kecamatan Dawe Kudus.

4.   Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian akan diperoleh dari dua hal, yaitu data primer dari data komitmen keberagamaan masyarakat muslim di Kudus, dan data sekunder diperoleh dari beberbagai sumber pendukung, seperti buiku, majalah, artikel, dan sebagainya.

5.   Metode Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan metode observasi pada lokus yang telah ditunjuk, metode wawancara mendalam dengan informan terkait, dan metode dokumentasi dari dokumen yang bersangkutan dengan masalah yang diteliti.

6.      Analisis Data

Mengingat sifat data tidak tetap dan selalu berubah, maka analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan analisis trianggulasi, yaitu analisis melalui cek and ricek secara berulang dan bersilang, sehingga sifat data sangat valid.

Sementara ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian yang berjudul Komitmen Beragama Masyarakat Muslim di Kabupaten Kudus, yaitu:

  • Bagi masyarakat muslim di Kudus begitu komitmen dalam beragamanya, mereka memaknai komitmen beragama sebagai sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam kehidupan sehari-hari. Komitmen beragama juga tidak dapat dipisahkan dari simbol yang mereka pakai dalah kesehariannya, seperti simbol ketaqwaan seseorang akan dilihat dari pakaian dan perilaku keberagamaanya.
  • Sesungguhnya banyak faktor yang mendukung sehingga bagi masyarakat Kudus begitu kondusif dalam beragamanya, diantaranya kondisi gegrafis yang bersahaja, kemajemukan masyarakat tidak mengganggu dan tetap harmonis, budaya santri masih tetap hidup dan bertahan, pendidikan Islam juga sangat mendukung, peranan ulama sekitar juga begitu kuat, dan pemerintah daerah tetap mendukung kebijakan yang diambil oleh para tokoh agama di Kudus.
  • Sementara faktor penghambat dalam membangun komitmen beragama, misalnya masih ada dari segelintir masyarakat yang belum sadar akan arti penting beragama, di beberapa daerah di luar daerah kauman banyak yang kurang komitmen dalam beragama, terkadang kebijakan pemerintah pusat yang kurang mendukung dalam beragama, dan sebagainya.
  • Komitmen beragama masyarakat muslim di Kudus dalam prakteknya tetap tidak mengurangi rasa kebersamaan mereka dengan pemeluk agama lainnya. Dalam pendek kata, dalam keberagamaannya yang demikian kuat, mereka tetap dapat mengedepankan nilai-nilai humanis dan pluralis, menghormati umat yang berbeda agama, dan tetap santun dalam beragama.
  • Memang ada perbedaan yang cukup mencolok perilaku keberagamaan dari setiap lapisan masyarakat muslim di Kudus. Bagi masyarakat santri begitu kuat dalam perilaku agamanya, bagi sebagian masyarakat buruh terkadang melihat situasi dan kondisi yang ada, bila situasi dan kondisi begitu membahayakan posisinya sebagai buruh maka komitmennya dalam beragama akan berkurang, bagi kalangan petani di pedesaan komitmen beragama mereka masih tercampur dengan nilai-nilai asli lokal dan budaya lama.
  • Peranan ulama yang semula tidak menjadi permasalahan dan pertanyaan dalam penelitian ini, ternyata begitu kuat pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat muslim, terutama bagi masyarakat di sekitar kauman. Hal ini dimungkinkan, karena budaya peternalistik yang dibangun di Kudus adalah budaya paternalistik ala pesantren.
Share this Post: